Senin, 16 Desember 2013

Kisah Pohon Apel

  Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. 

  Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya." Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. 

  Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel. "Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu. 

  Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu. "Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. "Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya. 

  Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita. 

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan,  yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

Kisah Sebuah Jam

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya.
"Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetik paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?" 
"Ha?," kata jam terperanjat, "Mana sanggup saya?"
"Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?" tanya  si pembuat jam.
"Lapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?" jawab jam penuh keraguan.
"Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?" tamabah si pembuat jam.
"Dalam satu jam harus berdetik 3,600 kali? Banyak sekali itu…" tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.
Tukang jam dengan penuh kesabaran kemudian berkata lagi kepada si jam..,
"Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetik satu kali setiap detik?" 
"Oh, kalau begitu, aku sanggup!" kata jam dengan penuh semangat.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetik satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa kerana ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetik tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetik sebanyak 31,104,000 kali.

"Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya,  ternyata kita  mampu. Bahkan yang kita anggap mustahil untuk dilakukan sekalipun..!"

Kisah Seekor Kupu-kupu


Suatu pagi, seseorang menemukan kepompong seekor kupu.  Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk mengamati dalam beberapa jam calon kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu.  Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu.

Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayap mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa pada suatu saat  sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.  

Tetapi, apa yang terjadi…
Ternyata  kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. 'Dia tidak pernah bisa terbang.'


"Kebaikan  dalam  ketergesaan  bukanlah hal terbaik yang seharusnya anda lakukan. Lihatlah calon kupu kupu itu, kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkanya untuk melewati lubang kecil adalah garis Allah yang telah Ia tetapkan  untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut……."

Cangkir yang Cantik


Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu," kata si nenek kepada suaminya. "Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si kakek.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara "Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.
Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata "belum !" lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata "belum !"
Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak.
Wanita itu berkata "belum !" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin.
Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.
***
Teman, seperti inilah Allah membentuk kita. Pada saat Allah membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi Allah untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan Allah.
Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Allah sedang membentuk Anda. Bentukan -bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai.Anda akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk Anda.

Belajar dari Keledai


Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh kedalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur itu perlu ditimbun (ditutup karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si keledai. Ia mengajak tetangga – tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah kedalam sumur. Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian.tetapi kemudian,semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. setelah beberapa sekop tanah dituangkan kedalam sumur, sipetani melihat kedalam sumur dan tercengang atas apa yang dilihatnya. Walaupun punggungnya yang terus ditimpa oleh bersekop - sekop tanah dan kotoran, sikeledai melakukan sesuatu yang menabjubka. ia menguncang - guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun kebawah,lalu menaiki tanah itu. sementara tetangga -tetangga si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu. si keledai terus menguncangkan badannya dan melangkah naik. segera saja,semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri.

"…Kehidupan terus saja menuangkan segala macam tanah dan kotoran kepadamu. cara untuk keluar dari sumur - kesedihan, masalah, beban pikiran – adalah dengan mengguncangkan hal - hal tersebut. Setiap masalah dalam hidup kita merupakan batu pijakan untuk melangkah. kita dapat keluar dari sumur yang terdalam dengan terus berjuang. jangan pernah,  walau hanya berpikir untuk menyerah..!"